Hal
yang perlu digarisbawahi di sini adalah, bahwa setiap kegiatan berpikir
tidak terlepas dari kerangka ibadah kepada Allah SWT. Tujuan dari
setiap kegiatan berpikir, adalah untuk memperoleh hikmah dan kesadaran
akan keesaan dan kebesaran Allah SWT. Hal ini penulis anggap penting,
karena perbedaan tujuan dalam berpikir akan berpengaruh pada kebenaran
dari hasil-hasil pemikiran. Ketika seseorang berpikir untuk mencari-cari
kelemahan di dalam penciptaan, maka asumsi dan sudut pandangnya akan
dibelenggu untuk memperoleh kesalahan yang dianggapnya ada. Sebaliknya,
ketika seseorang berpikir untuk mencari hikmah dari penciptaan ini, yang
akan didapatinya adalah pelajaran-pelajaran yang tak terbatas dari alam
semesta. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an surat As-Shaad ayat 27,
sebagai berikut:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. As-Shaad [38]:27)
Telah
kita ketahui bersama, bahwa kecerdasan semata tidaklah cukup untuk
keselamatan dunia dan akhirat. Kecerdasan yang disertai dengan
kesombongan bahkan mengantarkan iblis kepada laknat Allah
SWT. Kecerdasan yang disertai dengan kearifan dan kesadaran akan
keterbatasan manusia di hadapan Rabb-nya lah yang dapat mengantarkan
manusia kepada ilmu pengetahuan yang hakiki. Perumpamaan
dari orang-orang yang tidak mempergunakan potensi yang dimilikinya untuk
mencari hikmah dan pelajaran dari alam semesta dijabarkan dalam
Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 179, sebagai berikut:
“…mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka
itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf [7]:179)
Dalam buku Membaca Konsep Arsitektur Vitruvius dalam Al-Qur’an
ini, penulis berusaha untuk memaparkan sebagian kecil dari kesempurnaan
ciptaan Allah SWT, melalui sudut pandang ilmu arsitektur. Terdapat
sebuah konsep dasar yang dicetuskan oleh Vitruvius, seorang arsitek yang
hidup di zaman Romawi, dalam menilai sebuah karya arsitektur. Konsep
dasar ini terdiri dari tiga unsur utama, yaitu kekokohan (firmitas), kegunaan (utilitas) dan keindahan (venustas). Alam semesta dan segala yang ada di dalamnya ternyata mengandung nilai-nilai kekokohan (firmitas), kegunaan (utilitas) dan keindahan (venustas)
yang sangat sempurna. Pelajaran ini bahkan dapat diperoleh dari
ciptaan-ciptaan Allah SWT yang seringkali dianggap remeh oleh manusia,
seperti lebah, semut dan laba-laba.
“Hingga
apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak
oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”.” (QS. An-Naml [27]:18)
Sarang-sarang
mereka dianggap lemah dan tidak berarti oleh manusia, sehingga
seringkali manusia merusaknya, dengan sengaja ataupun tidak, tanpa rasa
berdosa. Padahal, di balik setiap penciptaan mereka terdapat hikmah dan
pelajaran yang sangat besar, bahkan bagi perkembangan keilmuan
arsitektur saat ini. Di dalam sebuah sarang lebah madu
misalnya, terdapat sebuah perhitungan matematis yang sangat akurat
tentang optimalisasi pembentukan ruang dari segi bahan baku dan volume
ruangan. Sementara itu, di dalam sebuah sarang semut terdapat mekanisme
pengaturan panas dan sterilisasi ruang, seperti yang dibutuhkan di dalam
perancangan sebuah rumah sakit.
Tujuan penulisan ini sesungguhnya bukan semata-mata mencari dan menemukan pelajaran bagi dunia arsitektur dalam hal kekokohan (firmitas), kegunaan (utilitas) dan keindahan (venustas).
Lebih jauh, buku ini bertujuan menggali hikmah dan makna yang
terkandung dari ciptaan Allah SWT, untuk diterapkan di dalam dunia
keilmuan arsitektur. Dalam tataran hikmah, pemaknaan obyek arsitektur
ternyata bukanlah sekedar pemaknaan akan kekokohan, kegunaan dan
keindahan semata. Pemaknaan lebih dalam, sebenarnya adalah pemaknaan
yang mengantarkan manusia kepada kesadaran yang lebih tinggi
(transendensi) akan keesaan dan kebesaran Allah SWT. Pada akhirnya,
keilmuan menjadi penguat dan penegak keyakinan agama. Wallahu a’lam bish-shawab.
http://yuliaonarchitecture.wordpress.com/2009/03/10/membaca-konsep-arsitektur-vitruvius-dalam-al-quran/
Belum ada tanggapan untuk "Membaca Konsep Arsitektur Vitruvius dalam Al-Qur’an"
Post a Comment