Ultisol mengandung berbagai kendala berat untuk budidaya tanaman yang
saling berkaitan. Hal ini menuntut penanganan serentak. Menyelesaikan
satu kendala tanpa menghiraukan yang lain justru dapat menimbulkan
persoalan yang lebih berat. Segala persoalan yang muncul dalam ultisol
bersumber pada sejarah pembentukannya. Tanah ini dibentuk oleh proses
pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung
dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan
bercurah hujan tinggi. Vegetasi klimaksnya adalah hutan rimba. Dalam
lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses
pelindian (leaching) terpacu kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena
air infiltrasi dan perkolasi mengambil CO hasil mineralisasi bahan
organik berupa serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan.
Menurut Hardon (cit. Volobuev, 1964) produksi tahunan bersih bahan
ogranik dalam hutan primer tropika di Jawa ialah 25 ton ha. Longman dan
Jenik (1974) menyebutkan angka rerata 20 dengan kisaran 10-50 ton/ ha/
th bahan kering untuk hutan tropika di dunia. Produksi serasah tahunan
dalam hutan menurut Volobuev (1964) berkisar antara 1 dan 4% dari
biomassa total. Longman dan Jenik (1974) mengajukan angka biomassa total
hutan tropika sebesar rerata 450 ton/ ha bahan kering dengan kisaran
60-800 ton/ha Maka produksi serasah tahunan dapat diperkirakan minimum
0,6 dan maksimum 32 ton/ ha dengan kisaran tengah 4,5 hingga 18 ton/ ha
Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan
dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada
pada Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya
mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Munir,
1996).
Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat
kimia, komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan
sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang
mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari
dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau
pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat
pada dan di bagian lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak
ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan
bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan
untuk pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi
sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsur hara
rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang
sangat masam sangat menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation
dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar, karena
perkembangan muatan positif, dan dicirikan dengan warna tanah yang
merah-kuning.(Hardjowigeno,1993).
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada
klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol
diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada
horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai
3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986;
Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma 2000; Isa et
al. 2004; Prasetyo et al. 2005).Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau
hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan
plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi
seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga
merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit,
dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan
Sys1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmanndan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya.Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya
mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan
Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit,
dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat
halus (Subardja 1986; Subagyo et al.1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et
al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk
gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al.
2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur
Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti
pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang
kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan
andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan
tekstur yang halus.
Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan
fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan
dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan
peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon
tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium
maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al
sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar
tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas
horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Tanah berordo Ultisols kebanyakan memiliki sifat tanah yang masam,
karena material di dalam profil tanah banyak mengandung mineral kuarsa
dan seskuioksida besi (Fe) dan aluminium (Al), sementara mineral-
mineral lainnya amat sedikit. Berdasarkan hal ini ditambah beberapa ciri
lainnya. Mineral-mineral tersebut memiliki kapasitas menahan hara (KTK)
yang rendah, demikian pula potensi kandungan hara rendah.
Pada kondisi demikian, tanaman pada umumnya mengalami kekurungan unsur
hara. Dipihak lain kandungan unsur Al sangat tinggi, sehingga
mengakibatkan terjadinya keracunan bagi tanaman yang tumbuh di daerah
ini. Terkikisnya lapisan tanah atas karena erosi akan menambah seriusnya
masalah keracunan Al, karena lapisan bawah memiliki kandungan Al lebih
tinggi.
Pada kenyataannya, keberadaan lahan kering yang sangat luas dan
potensial tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi
pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Kecenderungannya, keberadaan lahan kering telah terpinggirkan dan
terbiaskan oleh program pembangunan pertanian yang terlalu fokus pada
padi, perkebunan, dan sayuran dataran tinggi. Sampai saat ini belum ada
komoditas unggulan yang bernilai ekonomis tinggi yang dihasilkan dari
zona agroekosistem lahan kering. Ubi kayu, jagung, ubi jalar, padi gogo,
dan kacangkacangan merupakan komoditas utamanya. Meskipun keenamnya
disebut sebagai komoditas utama lahan kering, namun secara ekonomi semua
komoditas tersebut belum mampu memberikan jaminan harga dan kehidupan
yang layak (kesejahteraan) kepada sebagian besar pelaku utamanya, yaitu
petani.
Ciri tanah ultisol yang terutama menjadi kendala bagi budaya tanaman ialah :
1. pH rendah
2. Kejenuhan Al tinggi ; kemungkinan besar juga Fe dan Mn aktif tinggi
3. Lempung beraktivitas rendah (LAC) bermuatan terubahkan (variable charge)
4. Daya semat terhadap fosfat kuat
5. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal
dari bahan induk masam (feksil ) atau batuan pasir, sedang kadar Zn
biasanya cukup namun cenderung terilluviasi dalam horison B (Aubert
& Pinta, 1977) ; Krauskopf, 1979).
6. Kadar bahan organik rendah dan itupun terlonggok dalam lapisan
permukaan tipis (horison A tipis) dan dengan sendirinya kadar N pun
rendah serta terbatas dalam lapisan permukaan tipis itu
7. Daya simpan air terbatas
8. Jeluk (depth) efektif terbatas, terutama pada acrisol yang horison ariliknya berkembang tegas dan dangkal
9. Derajat agresi rendah dan kemantapan agregat lemah
(Notohadiprawiro, 1973), yang menyebabkan tanah rendah (susceptible)
terhadap erosi yang menjadi kendala pada lahan belerang, dan rentan
terhadap pemampatan (compaction) yang menjadi kendala, baik pada
lahan berlereng, maupun pada lahan yang datar.
Volobuev (1964) menyebutkan bahwa jumlah akar yang lapuk tiap tahun
dalam hutan yang telah berkembang penuh kira-kira sama dengan jumlah
serasahnya. Angka ini dapat memberikan bayangan betapa besar produksi CO
dalam mineralisasi bahan organik hutan dan konsekuensinya atas
intensitas reaksi asidolisis dengan mineral tanah. Asidolisis diperkuat
dengan asam organik yang dihasilkan oleh perombakan bahan organik yang
tidak sempurna. Kemasaman serasah juga berkaitan dengan jenis tumbuhan
yang menghasilkannya. Ini bergantung pada imbangan gugus asam dengan
gugus basa yang ada dalam jaringan. Ada tumbuhan yang menghasilkan
serasah masam (misalnya conifera) dan ada yang menghasilkan serasah
tidak masam (misalnya pohon kayu keras). Pembandingan tumbuhan masam
dengan yang tidak masam menunjukan bahwa yang masam berkadar Ca, Mg, K
dan P jauh lebih rendah sedang N jauh lebih tinggi dari pada yang tidak
masam (Luts dan Chandler, 1951). Memang fakta telah menunjukan bahwa
banyak tanah hutan bersifat masam (Ulrich,1983).
Pelapukan masam di dalam hutan membebaskan basa dari mineral tanah
secara cepat. Apabila hal ini berlangsung dalam suatu lingkungan yang
berdaya lindi kuat pada akhirnya terbentuk tanah masam yang miskin hara.
Ai, Fe dan Mn menjadi banyak terbebaskan dan dapat melonggok dalam
jumlah yang meracun tanaman. Persoalan yang bertambah berat apabila
bahan induk tanah sudah bersifat masam dan kersikan (siliceous).Justru
inilah yang terutama dijumpai di Sumatera. Nama ultisol dan acrisol
dipilih untuk mengisyaratkan keadaan tanah yang buruk. Suku formatif ult
dalam ultisol diambil dari kata Yunani ultimulus yang berarti akhir
atau terakhir.
Suku formatif acr dalam acrisol diambil dari kata Yunani akros yang
berarti pada akhirnya, yang dijabarkan menjadi makna "pelapukan luar
biasa". Acr juga dapat diambil dari kata Latin acris yang berarti sangat
masam, yang dijabarkan menjadi makna :kejenuhan basa rendah"
(USDA,1975; Fitz Patrick, 1980). Suku formatif ini dalam nitosol diambil
dari kata nitidus dalam bahasa Latin yang berarti mengkilat untuk
menunjukkan salah satu cirinya yang khas, yaitu satuan struktur gumpal
bermuka mengkilat (Fitz Patrick, 1980). Jadi, nama nitosol tidak
mengisyaratkan keadaan tanah yang buruk seperti kedua nama tersebut di
atas. Maka nitosol adalah tanah podsolik merah-kuning yang lebih baik
dari pada yang masuk acrisol.
Lempung beraktivitas rendah dan bermuatan terubahkan menyebabkan tanah
berkelakuan kimiawi khusus yang menimbulkan persoalan rumit berkenaan
dengan usaha ameliorasi kimiawi (pemupukan, pengapuran, pembenahan
struktur). Kerentanan terhadap terhadap erosi menyebabkan risiko erosi
meningkat di atas proporsional karena komponen kesuburan tanah yang
sudah terbatas itu justru terkumpul dalam lapisan permukaaan, tipis dan
merosot tajam ke arah bawah tubuh tanah. Ini berarti bahwa simpanan
kesuburan berada pada kedudukan yang paling mudah terserang erosi. Maka
untuk tanah ini pengertian laju erosi terbolehkan (permissible rate of
erosion) perlu ditinjau kembali. Laju erosi terbolehkan penting karena
menjadi dasar perancangan pemanfaatan lahan yang memberikan peluang
lebih banyak untuk memilih jenis pemanfaatan yang lebih memenuhi
kebutuhan atau keinginan penduduk.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Sifat Fisika & Kimia Tanah Ultisols"
Post a Comment