Nama kubis diduga berasal dari bahasa Inggris yaitu cabbage. Di Indonesia, kubis sering uaga disebut sebagai kol. Tanaman kubis (Brassicae oleraceae) termasuk family Cruciferae, Klas Dicotyledoneae, Subdivisi Angiospermae dan Divisi Embriophyta (Pracaya, 2001). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam dan memperlancar buang air besar.
Tanaman kubis merupakan tanaman semusim yang di Indonesia banyak ditanam di daerah pegunungan, dengan ketinggian ±800 m di atas permukaan laut (dpl) dan mempunyai penyebaran hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m, tanaman kubis tumbuh kurang baik. (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993).
Pada umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau tumpangsari. Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi. Cara budidaya tanaman kubis adalah pengolahan tanah atau pembersihan gulma, penyulaman, pemupukan, pemanenan, dan pergiliran tanaman (Rukmana, 1994).
Secara umum, semua jenis kubis dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. namun demikian, kubis akan tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya akan bahan organik. Kecuali itu, dalam hidupnya kubis memerlukan air yang cukup, tetapi tidak boleh berlebihan. Artinya tanaman kubis akan mati bila kekurangan atau kelebihan air.
Realita yang ada, tidak semua petani di sentra pertanaman kubis menanam kubis. Keengganan petani menanam kubis dipicu leh alasan klasik, takut terserang hama dan penyakit. Tanaman kubis yang akan tumbuh baik pada kelembaban yang cukup tinggi (60-69%) dan suhu cukup rendah memang dapat memunculkan berbagai penyakit, terutama bakteri dan cendawan. Kedua patogen inilah yang merupakan patogen utama pada kubis (Pracaya, 2001).
Kerugian yang dapat ditimbulakan oleh penyakit kubis sangat besar nilainya. Terkadang serangannya sangat hebat sehingga terjadi gagal panen. Oleh sebab itu pengetahuan mengenali penyakit-penyakit pada kubis, gejala, dan cara pengendaliannya sangat penting. Pengetahuan ini khususnya penting diketahui oleh petani kubis atau petani yang tinggal di daerah yang cocok untuk pertumbuhan kubis agar mereka tetap mau menanam kubis dan paham cara pengendalian penyakitnya.
AKAR GADA
Clubroot atau Akar Gada merupakan penyakit terpenting pada tanaman kubis-kubisan yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Penyakit ini menyebar merata diseluruh areal pertanaman kubis di seluruh dunia khususnya di Eropa dan Amerika Utara. Penyakit ini sering dijumpai pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Hampir seluruh tanaman kubis-kubisan misalnya kubis, sawi putih, dan brussels sprout sangat rentan terkena akar gada.
Penyebab Penyakit
Akar gada menyebabkan kerusakan yang parah pada tanaman rentan tumbuh pada tanah yang terifeksi. Hal ini disebabkan patogen yang menginfeksi tanah ini tetap menjadi saprofit pada tanah sehingga kubis-kubisan kurang cocok lagi untuk dibudidayakan di tempat tersebut (Agrios, 2005).
Plasmodiophora brassicae yang menyerang kubis ini termasuk dalam kelas plasmodiophoromycetes. Fase somatiknya berupa plasmodium. Plasmodium tumbuh menjadi zoosporangium atau spora rehat. Pada saat perkecambahan, patogen ini membentuk zoozpora yang dapat berasal dari spora rehat. Zoospora tunggal dari spora rehat kemudian memenetrasi akar inang dan tumbuh menjadi plasmodium. Setelah beberapa hari, plasmodium membelah menjadi beberapa multinukleat yang dibungkus oleh membran sehingga sel-sel akar akan bertambah besar. Masing-masing bagian tumbuh menjadi zoosporangium. Setiap zoosporangium terdiri dari empat hingga delapan zoospora yang segera dilepaskan melalui pori-pori pada dinding sel tanaman inang.
Beberapa dari zoospora kemudian bersatu untuk memproduksi zigot diploid yang dapat menyebabkan infeksi baru dan plasmodium baru. Zigot ini terdiri dari nucleus yang dikaryotik. Selanjutnya nukleus ini mangalami fusi (karyogami) yang diikuti meiosis. Akhirnya plasmodium menjadi spora rehat yang akan disebarkan ke tanah dan dapat menginfeksi tanaman selanjutnya. Siklus dari patogen ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gejala Penyakit
Gejala yang khas pada tanaman yang terifeksi Plasmodiophora brassicae adalah pembesaran akar halus dan akar sekunder yang membentuk seperti gada. Bentuk gadanya melebar di tengah dan menyempit di ujung. Akar yang telah terserang tidak dapat menyerap nutrisi dan air dari tanah sehingga tanaman menjadi kerdil dan layu jika air yang diberikan untuk tanaman agak sedikit. Bagian bawah tanaman menjadi kekuningan pada tingkat lanjut serangan penyakit. Spora dapat bertahan di tanah selama 10 tahun, dan bisa juga terdapat pada rumput-rumputan.
Penyakit ini bisa menyebar melalui tanah, dalam air tanah, ataupun dari tanaman yang sudah terkena. Gejala pada permukaan atas tanah dapat dilihat dengan menguningnya daun. Layu pada siang hari dan akan segar kembali pada malam hari (gambar 2b). Tanaman akan kelihatan kerdil, tanaman muda yang terserang akan dengan cepat mati sedangkan tanaman tua dapat bertahan hidup namun tidak dapat menghasilkan krop yang dapat dipasarkan.
Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit
Penyakit akar gada berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7. Menurun dengan drastis pada pH tanah 5,8-6,2 dan gagal berkembang pada pH 7,8. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,7-7,5 dan tidak akan berkecambah pada pH 8. Tetapi pH tanah yang rendah tidak menjamin terjadinya infeksi untuk semua kejadian. Kisaran temperatur yang optimum untuk bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8-25 oC dengan temperature minium 12,2-27,2 oC.
Kelembaban optimum selama 18-24 jam mengakibatkan perkecambahan dan penetrasi pathogen ke dalam inang kubis kemudian infeksi hanya terjadi jika kelembaban tanah di atas 45 % dan kelembaban di atas 50 % akan menyebabkan penyakit bertambah cepat. Kelembaban tanah di bawah 4 % dapat menyebabkan terhambatnya infeksi. Kelembaban yang tinggi dapat disebakan dengan meningkatnya curah hujan. Intensitas cahaya sangat berpengaruh pula terhadap perkembangan penyakit.
Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan serangan pathogen akan menurun, sebaliknya intensitas cahaya yang rendah dapat menyebabkan berkembangnya patogen dengan cepat sehingga penyakit akibat serangan patogen juga semakin besar.
Jumlah spora rehat akan menentukan tingkat infeksi pada inang. Susensi yang mengandung paling sedikit 106-108 sel spora setiap ml sangat efektif untuk mengadakan infeksi. Disamping itu, kondisi inang turut mempengaruhi perkembangan P.brassicae, seperti kisaran inang,inang yang rentan, dan morfologi dari sistem perakaran serta peran mikroba yang lain.
Siklus Penyakit
Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Plasmodium yang berkembang dari zoospora sekunder memenetrasi jaringan akar muda secara langsung. Hal ini dapat mempertebal akar dan batang luka yang terletak di bawah tanah. Setelah itu, plasmodium menyebar ke sel kotikal hingga ke kambium. Setelah seluruh kambium terserang, plasmodium kemudian menyebar ke korteks kemudian ke xilem. Patogen ini kemudian berkelompok membentuk gelendong yang meluas dan berangsur-angsur menyebar. Jumlah sel kemudian bertambah banyak dan membesar. Infeksi ini dapat menyebabkan sel 5-12 kali lebih besar dari sel yang tidak terinfeksi. Sel yang berkembang abnormal ini dapat menjadi stimulus bagi patogen untuk menyebar lebih cepat dan bahkan dapat menyebabkan sel yang awalnya tidak terifeksi menjadi terifeksi. Sel yang tumbuh abnormal ini dapat digunakan oleh plasmodium sebagai sumber makanannya. Skema perkembangan penyakit akar gada dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Siklus penyakit akar gada (Agrios, 2005)
Infeksi oleh plasmodium tidak hanya menyebabkan terjadinya pertumbuhan abnormal pada tanaman tetapi juga dapat menyebabkan terhambatnya absorbsi dan translokasi air dan nutrisi dari dan menuju akar. Hal ini menyebabkan tanaman kerdil san layu secara perlahan-lahan. Lebih lanjut lagi, pertumbuhan yang cepat dan sel yag membesar dapat menyebabkan tidak terbentuknya jaringan gabus dan dapat menyebabkan kemudahan bagi mikroorganisme lain untuk menginfeksi tanaman.
Strategi Pengendalian
Penyakit ini memiliki berbagai bentuk gejala serangan sehingga mendorong untuk memuliakan tanaman yang tahan terhadap penyakit ini. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan bibit yang bebas hama dan penyakit. Pergiliran tanaman kurang sesuai diterapkan untuk kasus ini karena sporanya dapat bertahan lama serta gulma yang dapat menyebabkan penyakit ini. Pengapuran tanah untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 sangat efektif untuk mengurangi perkembangan penyakit. Penyiraman fungisida Promefon 250EC pada lubang tanam yang dicampur dengan air saat tanam juga dapat mengurangi perkembangan penyakit. Tanaman yang tahan haruslah diuji di beberapa lokasi karena jenis serangannya yang berbeda-beda di setiap lokasi (Arismansyah, 2010). Selain itu, penggunaan tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan teknik solarisasi juga teruji mengurangi penyakit dan meningkatkan hasil panen (Cicu, 2002).
Bercak Daun Alternaria
Bercak daun alternaria merupakan penyakit yang sering ditemukan pada berbagai jenis tanaman di seluruh dunia diantaranya kubis, tomat, kentang, kacang tanah, tembakau, geranium, apel, bawang, jeruk lemon, dll. Khusus untuk Alternaria pada kubis yang disebabkan oleh A. brassicae, pathogen ini sangat banyak tersebar di belahan bumi utara. Patogen ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dengan penyakit tertinggi yang dilaporkan dalam kondisi musim hujan dan di daerah dengan curah hujan relatif tinggi (Agrios, 2005).
Penyebab Penyakit
Alternaria sp. mempunyai miselium berwarna gelap dan pada jaringan tua memproduksi konidiofor pendek, sederhana, dan tegak yang dapat menopang konidia. Konidia dari dari Alternaria sp. cukup besar gelap, panjang, multiselular, dan mempunyai sekat melintang dan membujur. Konidifor dari Alternaria. brassicae menghasilkan spora aseksual (konidia) dengan panjang rata-rata antara 160-200 μm. Sporulasi terjadi (in vitro) antara suhu 8 sampai 24 oC dimana spora dewasa dapat terbentuk setelah 14 sampai 24 jam.
Gejala Penyakit
Alternaria brassicae dapat mempengaruhi spesies inang pada semua tahap pertumbuhan, termasuk biji. Gejala yang ditimbulkan sering terjadi pada daun yang lebih tua, karena mereka lebih dekat dengan tanah dan lebih mudah terinfeksi sebagai akibat dari percikan hujan atau hujan ditiup angin. Akhir infeksi, atau infeksi daun yang lebih tua, tidak mengurangi karakteristik krop, dan dapat dikontrol melalui penghapusan intensif daun terinfeksi. Serangan pada tanaman di persemaian dapat mengakibatkan damping off atau tanaman kerdil. Bentuk bercak daun sangat beragam ukurannya dari sebesar lubang jarum hingga yang berdiameter 5 cm. Umumnya serangan dimulai dengan adanya bercak kecil pada daun yang membesar hingga kurang lebih berdiamter 1,5 cm dan berwarna gelap dengan lingkaran konsentris. Gejala ini sering disebut dengan browning. Pada kondisi cuaca yang lembab tampak bulu-bulu halus kebiruan di pusat bercak yang bercak tersebut sering terdapat cincin-cincin sepusat.
Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit
Angin yang sering timbul saat hujan dapat memperparah serangan penyakit. Alternaria brassicae penyebab bercak daun pada kubis-kubisan ini dapat menyebar cepat dengan bantuan angin. Serangan semakin parah bila cuaca lembap dan suhu antara 25 – 30oC. Temperatur optimum adalah antara 16 dan 24 oC dimana waktu sporulasi hanya berkisar antara 12 sampai 14 jam. Kelembaban pada kondisi hujan, embun, atau kelembaban yang tinggi sangat penting untuk infeksi. Hanya dengan waktu minimum 9-18 jam infeksi pada tanaman oleh A. brassicae dapat terjadi. Ketika terjadi penurunan suhu, jumlah waktu yang dibutuhkan untuk 98% dari spora untuk tumbuh meningkat (Stephen, 2000).
Alternaria brassicae tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang sebagai spora pada kulit biji atau sebagai miselium dalam benih maupun di bagian atas tanaman terinfeksi. Sampel benih terinfeksi dengan Alternaria brassicae yang disimpan pada 0 oC selama empat belas bulan menunjukkan ketahanan pada benih. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun spora Alternaria brassicae terkena cuaca di luar ruangan untuk periode enam bulan di mana suhu berkisar antara 23 sampai 30 oC menunjukkan bahwa spora masih dapat tumbuh.
Alternaria brassicae juga dapat hidup dalam bentuk mikrosklerotia dan klamidospora yang muncul setelah terinfeksi daun yang sebagian membusuk. Mikrosklerotia dan khlamidospora dapat dibentuk dalam sel konidia. Mikrosklerotia dan khlamidospora berkembang dengan baik pada temperatur rendah (3 oC) dan tahan terhadap pembekuan dan desikasi (dalam studi in vitro). Klamidospora juga bisa berkembang dalam sel konidia di tanah alami pada suhu kamar. Biji yang terinfeksi, dengan spora dikulit biji atau miselium bawah kulit biji, mungkin sumber utama transportasi untuk patogen tersebut. Spora dapat disebarkan oleh angin, air, peralatan dan hewan. Cendawan dapat bertahan dalam gulma rentan atau tanaman tahunan.
Siklus Penyakit
Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dimulai ketika konidia dari A. brassicae menempel pada permukaan inang. Konidia tersebut kemudian membentuk kecambah. Dalam satu konidia, kecambah yang terbentuk bisa lebih dari satu. Alternaria sp. dapat memarasit tanaman dengan dua cara yaitu dengan membuat penetrasi langsung pada inang yang berasal dari tabung kecambah atau masuk ke tubuh inang melalui luka. Penetrasi yang dilakukan sebagian besar dimulai pada daun. Miselium kemudian menyebar (invasi) ke sel daun secara interselular yaitu melalui ruang antar sel. Konidia baru kemudian banyak terbentuk di jaringan yang terinfeksi tersebut. Gejala kemudian menyebar ke batang sehingga menyebabkan batang damping off. Setelah ke batang, gejala kemudian menyebar ke seluruh bagian tumbuhan. Skema dari perkembangan penyakit dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pengendalian Penyakit
Menurut Rebecca (2001), pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan perlakuan kultur teknis dan kimia. Pengendalian dengan kultur teknis diantaranya:
Pengobatan dengan air panas: Perawatan benih dengan air panas adalah salah satu cara mengendalikan spora pada kulit biji. Namun, pengobatan ini kadang-kadang menekan perkecambahan.
Tanaman rotasi: Rotasi dengan tanaman bukan kubis dan pemberantasan gulma silangan dapat membantu mengendalikan patogen. Spora dapat bertahan pada jaringan daun selama 8 sampai 12 minggu dan batang jaringan sampai 23 minggu, pada bidang yang ditanam segera setelah panen sering bertepatan dengan jumlah besar inokulum yang kemungkinan yang berefek pada munculnya tanaman dan tahap pertumbuhan awal.
Biologi kontrol: Studi awal dengan jamur actinomycetes, Streptomyces arabicus, menunjukkan efek antijamur pada Alternaria brassicae pada laboratorium dan studi lapangan sehingga dapat menekan pertumbuhan spesies cendawan tersebut.
Pengendalian dengan cara kimiawi dapat dilakukan engan menggunakan fungisida. Tujuh fungisida sepenuhnya menghambat pertumbuhan patogen dalam budidaya adalah Benlate di 0,1 £ ai/100 gadis, Dithane-M 45, Dithane-Z 78, Ziram, Difolatan-80 dan Thiram (semua pada 0,2 £ ai/100 gal), dan Blitox-50 di ai/100 £ 0,3 gal. Sebagai fungisida benih, Benlate di £ 0,1 ai/100 benih lb memberikan kontrol yang terbaik dengan kerugian rata-rata sebelum munculnya bibit 4,5 dan 6,5 pasca-munculnya bibit per pot (25 biji ditanam dalam pot masing-masing, 8 pot). Dithane M-45 dan Dithane Z-78, baik diterapkan pada £ 0,2 lbs ai/100 benih, mengalami kerugian sebelum munculnya bibit rata-rata 10,5 dan 11,25, masing-masing dan pasca-munculnya bibit rugi sebesar 11,5 dan 13,75, masing-masing. Sebagai semprot daun, Dithane M-45 (0,2 £ ai/100 gal) memberikan kontrol yang lebih baik secara signifikan atas fungisida lainnya, termasuk Benlate. Dithane M-45 memberikan hasil yang lebih baik dari Dithane Z-78 (0,2 £ ai/100 gal), meskipun perbedaan itu tidak signifikan. Tanaman diperlakukan dengan fungisida kedua juga memberikan hasil biji tertinggi.
Iprodione dan fenpropimorph memiliki keduanya menunjukkan sifat hambat tinggi untuk pertumbuhan Alternaria sp. Dalam budaya dan sebagai perlakuan benih pada benih ai/100 £ 0,25 lb. Dalam sampel benih sampai dengan infeksi 61,5% (35,5% internal yang sakit), iprodione biasanya menghilangkan jamur dari sampel, tetapi tingkat yang lebih tinggi infeksi memerlukan dosis yang lebih besar iprodione. Perkecambahan biji yang sehat tidak terpengaruh oleh pengobatan, dan perkecambahan biji sakit ditingkatkan.
Busuk Hitam
Bakteri banyak terdapat pada serasah dari tanaman yang terinfeksi, tetapi akan mati jika serasah tadi melapuk. Bakteri ini juga terdapat pada tanaman kubis-kubisan yang lain dan tanaman rumput-rumputan serta dapat pula terbawa benih. Bakteri ini berada pada tetesan butir air dari tanaman yang terluka serta dapat menyebar ke seluruh tanaman melalui manusia ataupun peralatan yang sering bergerak melintasi lahan saat kondisi tanaman sedang basah.
Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit busuk hitam adalah Xanthomonas campestris pv. Campestris. Bakteri ini bersel tunggal, berbentuk batang, 0,7-3,0 x 0,4-0,5 µm, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, bersifat gram negatif, bergerak dengan satu flagel polar.
Gejala Penyakit
Tanaman dapat terserang busuk hitam pada setiap tahap pertumbuhan. Pada pembibitan, infeksi yang pertama kali muncul dengan menghitamkan sepanjang kotiledon. Bibit terserang patogen akan berwarna kuning sampai coklat, layu, dan runtuh. Pada tanaman yang memasuki pertumbuhan vegetatif lanjut akan menunjukkan gejala kerdil, layu, daun yang terinfeksi berbentuk wilayah-V. Wilayah V ini kemudian membesar dan menuju dasar daun, berwarna kuning sampai coklat, dan kering. Gejala ini dapat muncul pada daun, batang, akar, dan berubah menjadi hitam akibat patogen yang berkembang biak. Daun muda yang terinfeksi mengalami pertumbuhan yang terhambat, warna kuning sampai coklat, layu, dan mati sebelum waktunya. Kadang-kadang, tanaman berpenyakit gundul memiliki panjang tangkai atasnya dengan seberkas kecil daun.
Bakteri ini dapat menyebar ke jaringan pengangkutan tanaman dan dapat berpindah secara sistematis dalam jaringan pengangkutan tanaman tersebut. Jaringan angkut yang terserang warnanya menjadi kehitaman yang dapat dilihat sebagai garis hitam pada luka atau bisa juga diamati dengan memotong secara melintang pada batang daun atau pada batang yang terkena infeksi. Busuk hitam juga dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak.
Siklus Penyakit
Sumber utama bakteri untuk pengembangan busuk hitam di bidang produksi benih penuh, transplantasi terinfeksi, dan gulma silangan terinfeksi. Bakteri ini disebarkan dalam panen terutama oleh angin-angin dan percikan air dan oleh para pekerja, mesin, dan kadang-kadang serangga. X. campestris dapat bertahan hidup pada permukaan daun selama beberapa hari sampai tersebar ke hidatoda atau luka di mana infeksi dapat terjadi. Bakteri masuk ke daun melalui hidatoda saat memancarkan air melalui pori-pori di tepi daun pada malam hari, ditarik kembali ke dalam jaringan daun pada pagi hari (Soeroto, 1994).
Bakteri dapat masuk ke daun dalam 8 sampai 10 jam, dan gejala yang terlihat layu secepat 5-15 jam kemudian. Luka, termasuk yang dibuat oleh serangga makan pada daun dan cedera mekanik ke akar selama tanam, juga menyediakan situs masuk. Gerakan bakteri ke tanaman melalui hidatoda dibatasi dalam varietas tahan; akibatnya, ada situs infeksi yang lebih sedikit dan / atau bagian yang terkena jauh lebih kecil dalam varietas tahan daripada varietas rentan.
Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit
Pada kondisi yang hangat dan basah kerugian busuk hitam dapat melampaui 50% karena penyebaran penyakit ini. Hujan dan kabut tebal atau embun dan suhu hari 75° sampai 95° F yang paling menguntungkan bagi patogen. Di bawah dingin, kondisi basah infeksi dapat terjadi tanpa gejala perkembangan. Akibatnya, transplantasi tumbuh pada temperature rendah mungkin terinfeksi tetapi tanpa gejala. Bakteri tidak menyebar di bawah 50° F atau selama cuaca kering (Permadi,1993).
Strategi Pengendalian Penyakit
Menurut Rukmana (1994), pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman yang bukan jenis kubis-kubisan, sehingga akan memberikan waktu yang cukup bagi serasah dari tanaman kubis-kubisan untuk melapuk. Lalu menggunakan benih bebas hama dan penyakit yang dihasilkan di iklim yang kering. Hindari untuk bekerja di lahan saat daun tanaman basah. Tanamlah varietas kubis yang tahan terhadap busuk hitam. Penyemprotan bakterisida Kocide 77 WP sangat dianjurkan, terutama untuk budidaya di musim penghujan. Tanaman dan daun sakit dipendam dalam tanah. Menutup tanah dengan jerami untuk mengurangi penyakit.
Perlakuan benih dengan cara merendam benih dalam air hangat bersuhu 52ºC selama 30 menit. Tanaman yang terserang bakteri busuk hitam dicabut dan dimusnahkan. Dalam pemanenan kubis diikutsertakan dua helai daun hijau untuk melindungi krop. Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak terjadi luka. Daun-daun yang terinfeksi dikumpulkan untuk dimusnahkan (Soeroto,1994).
Busuk Basah
Bakteri penyebab busuk basah mempunyai kisaran inang yang luas di antaranya kubis, kentang, wortel, turnip, seledri, tomat, dan lain-lain. Panyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia dan dapat menyebabkan gejala serius pada krop di lapangan, di pengangkutan dan di penyimpanan. Perkembangan serangannya lebih banyak terjadi pada tempat penyimpanan atau pascapanen dari pada di lapangan. Pada penyimpangan, tanaman krop sehat yang mangalami kontak langsung dengan tanaman yang sakit dapat dalam beberapa jam saja dapat tertular penyakit busuk basah ini.
Penyakit busuk lunak ini telah menyebkan kerugian ekonomi yang besar akibat berkurangnya jumlah produksi yang dapat terjual: rendahnya kualitas; dan besarnya biaya pengendalian. Bakteri ini dapat mempertahankan diri dalam tanah dan sisa-sisa tanaman di lapangan.
Penyebab Penyakit
Erwinia carotovora merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat gram negatif, umumnya berbentuk rantai, tidak berkapsul dan tidak berspora, dapat bergerak aktif dengan 2-5 flagella. Ukuran selnya 1,5-2,0 x 0,6-0,9 mikron (Permadi dan Sastroosiswojo, 1993). Suhu minimum untuk bakteri ini adalah 5oC, optimum 22oC, maksimum 37oC dan akan mati pada suhu 50oC (Agrios, 2005).
Gejala Penyakit
Gejala awal yang mucul pada tanaman berupa lesio gejala basah yang kecil dan diameter serta kedalamannya melebar secara cepat. Bagian tanaman yang terkena menjadi lunak dan berubah warna menjadi gelap apabila serangan terus berlanjut. Warna pada permukaannya menjadi hijau pucat dan mengkerut. Pada jaringan yang terinfeksi akan berwarna buram dan kemudian akan berubah menjadi krem dan berlendir. Jika hal ini terjadi, maka pada permukaan akan tampak cairan berwarna keruh. Perkembangan penyakit hingga tanaman membusuk hanya butuh waktu 3-5 hari. Tanaman yang terkena busuk lunak kemudian menimbulkan bau yang khas yang dimungkinkan oleh adanya perkembangan organisme lain setelah pembusukan terjadi.
Jika akar krop telah terserang, gejala kemudian dapat muncul pada batang berupa batang yang berair, hitam, dan berkerut. Hal ini juga menyebabkan tanaman kerdil, layu dan mati. Bakteri busuk lunak dapat timbul dari seresah tanaman yang telah terinfeksi, melalui akar tanaman, dari tanah, dan beberapa serangga. Luka pada tanaman seperti stomata pada daun, serangan serangga, kerusakan mekanis, ataupun bekas serangan dari patogen lain merupakan sasaran yang empuk untuk serangan bakteri (Agrios,2005).
Siklus Penyakit
Siklus penyakit atau perkembangan penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Bakteri pada awalnya masuk ke luka pada tanaman. Luka ini dapat disebabkan oleh serangga tersebut mengimpan telurnya pada tanaman kubis sehingga menyebabkan luka. Bakteri setelah masuk akan makan dan membelah diri dengan cepat serta merusak sel di sekitarnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya cairan. Selain tiu, bakteri ini menghasilkan enzim pektinase dan selulase. Enzim peptinase dapat menguraikan peptin yang berfungsi untuk merekatkan dinding sel yang berdampingan. Dengan terurainya peptin, sel-sel akan terdesintegrasi. Enzim selulase menyebabkan merusak selulosa dan melunakkan dinding sel. Akibatnya air dari protoplasma berdifusi ke ruang antar sel. Sel kemudian mengalami plasmolisis, kolaps, dan mati. Bakteri selanjutnya bergerak menuju ruang antarsel dan membelah diri sambil mengeluarkan enzimnya sehingga infeksi semakin besar.
Akibat dari hal tersebut di atas, jaringan yang terserang kemudian melunak, berubah bentuk, dan berlendir. Massa dari bakteri yang terdapat pada cairan dalam sel sangat banyak. Akibatnya jaringan gabus yang banyak terserag penyakit ini pun rusak sehingga lendir yang mengandung banyak bakteri tersebar ke dalam tanah atau dalam penyimpanan pasca panen. Hal ini memungkinkan bakteri mengadakan kontak dengan tanaman yang sehat sehingga tanaman sehat pun akan mengalami sakit. Skema yang menunjukkan perkembangan penyakit tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit
Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung perkembangan penyakit diantaranya drainasi yang buruk pada pertanaman, kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi yang dapat menyebabkan bakteri tersebar dengan cepat, adanya sisa-sisa tanaman terinfeksi di sekitar daerah penanaman dan suhu yang rendah.
Kondisi yang menyebabkan perkembangan penyakit pada pasca panen adalah luka pada kubis. Jika luka ini mengadakan kontak dengan tanaman yang terserang, maka dengan mudah kubis yang luka ini akan terinfeksi E. carotovora.
Strategi Pengendalian
Pengendalian secara preventif bisa ditempuh melalui kebersihan lingkungan dan sistem budidaya. Menunggu tanah melapukkan sisa-sisa tanaman lama di lahan sebelum menanam tanaman selanjutnya sangat dianjurkan untuk mengatasi hal ini. Lahan harus memiliki drainase yang baik untuk mengurangi kelembaban tanah serta jarak tanamnya harus cukup memberikan pertukaran udara untuk mempercepat proses pengeringan daun saat basah. Pembuatan pelindung hujan dapat pula menghindari percikan tanah dan pembasahan daun yang akan mengurangi gejala busuk lunak. Penyemprotan bacterisida seperti Kocide 77WP dengan interval 10 hari sangat dianjurkan terutama saat penanaman musim hujan. Sanitasi, jarak tanam tidak terlalu rapat. Menghindari terjadinya luka yang tidak perlu dan pengendalian pasca panen
Kaki Hitam
Penyebab Penyakit
Penyakit kaki hitam disebabkan oleh pathogen Phoma Lingam yang merupakan patogen serius yang dapat menyebabkan penyakit kaki hitam, kanker , dan busuk kering brassicae dan silangan lain. Batang dibusukkan / penyakit penipu disebabkan oleh jamur Phoma lingam ascomycetes. Teleomorf dari penyebab penyakit Phoma lingam adalah Leptosphaeria maculans. Miselium bersekat bercabang-cabang, pada waktu muda hialin, kelak mempunyai dinding yang gelap Piknidia bundar untuk subglobose, kuning coklat sampai coklat hitam, subepidermal, terpisah, unilokular, 130-600 μm.. Bentuk dan ukuran piknidium sangat bervariasi. Biasanya berbentuk botol, berwarna gelap, kadang-kadang dengan paruh atau ostiola yang menonjol. Konidium (piknidiospora) hialin, tak bersekat, 1-2,5 x 3-6 µm. Konidium terkumpul di dalam piknidium, mongering dalam matriks yang seperti agar-agar. Jika terdapat air hujan atau embun, matriks meghisap air dengan cepatdan konidium mengembang dalam bentuk bulu atau benang panjang yang mengandung konidium dan matriks. Matriks akan larut dalam air sehingga konidium menjadi bebas (Tindall, 1987).
Gejala Penyakit
Gejala yang ditimbulkan penyakit kaki hitam oleh pathogen phoma lingam yaitu Noda pada batang dan daun, bulat telur sampai yg tersebar luas, pada awalnya kuning kehijauan, kemudian kelabu kuning, akhirnya abu-abu, depresi, dengan ungu ke perbatasan hitam. Kanker memanjang pada pangkal batang, mula-mula berwarna coklat muda, kemudian mejadi kehitaman, yang sering dikelilingi oleh batas berwarna ungu. Di bagian tengah luka terdapat titik-titik hitam yang terdiri dari piknidium jamur penyebab penyakit. Kanker dapat meluas sehingga batang bergelang, bagian dalam batang busuk kering berwarna coklat, mula-mula terdapat becak warna pucat dengan batas kurang jelas yang menjadi becak bulat dengan warna kelabu ditengah. Daun-daun yang layu biasanya tetap bergantung pada tanaman, sedangkan daun-daun yang masih segar sering mempunyai tepi berwarna kemerahan. Pada tanaman penghasil benih, penyakit dapat timbul pada polongan (buah), dan biji yang terinfeksi menjadi keriput. Perakaran yang sakit akan rusak sedikit demi sedikit sehingga tanaman menjadi layu dan kemudian mati (Anonim, 2008).
Siklus Penyakit
Penyebab penyakit ini mempertahankan diri dari musim ke musim dalam kulit biji dan dalam sisa-sisa tanaman sakit. Pada biji yang terinfeksi, tetapi masih dapat berkecambah, kulit biji akan terangkat ke atas tanah dan melekat pada salah satu keeping biji (kotiledon). Keping biji akan akan terinfeksi, jamur berkembang ke batang semai (hipokotil) sehingga semai mati. Semai seperti ini biasanya mati di persemaian tanpa diketahui, namun di sini jamur sempat membentuk tubuh buah (piknidium) yang menghasilkan konidium. Konidium hanya akan terbebas bila ada air, dan pemencarannya tergantung dari air hujan yang memercik. Air yang mengalir di permukaan tanah pun dapat mengangkut konidium dari sisa-sisa tanaman sakit ke persemaian.
Siklus penyakit dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit
Penyakit ini menyerang tanaman kubis pada kondisi tanah-tanah yang basa atau alkalis (pH lebih besar dari 6,5). Hujan dan basah cuaca, yang telah terjadi dalam beberapa hari sangat ideal untuk penyebaran jamur ini. Penyakit ini dapat bertahan hidup dalam residu tanaman setidaknya selama tiga tahun, sehingga rotasi selalu disarankan (menghindari silangan dalam rotasi sangat penting). Kondisi lain yang mendukung perkembangan penyakit yaitu tergantung dari curah hujan. Patogen juga
seedborne dan dapat disebarkan oleh angin dalam jarak jauh.
Strategi Pengendalian
Teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit kaki hitam yaitu pemencaran penyakit ke daerah yang belum terjangkit harus dicegah, menanam benih yang sehat yang dihasilkan oleh daerah-daerah yang kering, khususnya yang mempunyai cuaca kering pada waktu tanaman membentuk buah. Sanitasi pertanaman, sisa-sisa tanaman, khususnya tanaman sakit, dipendam dalam tanah cukup dalam, agar tidak menjadi sumber infeksi bagi pertanaman yang akan datang atau pertanaman sekitarnya. Tidak membuat persemaian di tanah yang mungkin mengandung penyebab penyakit, di daerah yang sudah terjangkit dan penggunaan fungisida secara efisien (Anonim,2009).
Tanah yang memiliki pH di ata 6,5 perlu penanganan dengan pengapuran pada tanah asam atau pemberian pupuk belerang (S) untuk tanah basa. Kebutuhan kapur pertanian untuk menaikkan tanah tergantung dari jenis tanah dan derajat keasaman tanah. Untuk lahan kering sekitar 4 ton/hektar, sedangkan pada tanah gambut mencapai 19 ton/hektar. Pada tanah-tanah basa, misalnya pH 8,5-9,0 dapat diberikan tepung belerang atau gipsum sekitar 6 ton/hektar untuk menurunkan pH mendekati netral.
Pembahasan Umum
Penyakit-penyakit pada kubis yang telah disebutkan diatas, secara garis besar disebabkan oleh dua patogen yaitu cendawan dan bakteri. Untuk dapat membedakan secara langsung dari seluruh gejala, pengendalian teknis yang tepat, dan bakterisida yang dapat digunakan maka pada sub bab ini akan dijelaskan perbedaan dari keseluruhan penyakit untuk masing-masing patogen.
Penyakit yang disebabkan oleh cendawan ada tiga yaitu akar gada, bercak daun, dan kaki hitam. Dari tiga penyakit ini, penyakit terbesar disebabkan akar gada. Hal ini disebabkan karena penyakit ini berkembang dengan sangat cepat di area pertanaman kubis dan dapat bertahan selama 10 tahun di dalam tanah. Akar yang membengkak menyebabkan pengangkutan nutrisi terhambat. Gejala ini sangat berbeda dengan dua penyakit lainnya oleh cendawan. Contohnya penyakit bercak daun yang gejalanya berawal dari daun bukan dari akar. Gejalanya pun sangat khas yaitu berupa bercak konsentris kecil berwarna gelap kemudian membesar pada daun. Bercak yang terjadi di daun pada penyakit kaki hitam pun berbeda. Bercak yang ditimbulkan berwarna kuning, berkembang menjadi abu-abu kemudian ungu kehitam-hitaman. Bercak oleh penyakit kaki hitam ini dapat meluas ke batang berupa “kanker” memanjang berwarna hitam.
Pengendalian secara kultur teknis untuk ketiga penyakit oleh cendawan ini un meiliki perbedaan. Pengendalian untuk mengatasi penyakit akar gada salah satunya dengan pemberian kapur atau pupuk pada area pertanaman sehingga pH meningkat hingga 7,2. Pada pH ini, perkecambahan cendawan akan terhambat sehingga serangan peyakit dapat berkurang. Hal ini sangat berbeda dengan penyakit kanker batang yang disebabkan oleh Phoma lingam. Cendawan penyakit ini akan menyerang tanaman dan berkembang baik pada tanah-tanah yang basah dengan pH di atas 6,5. Sehingga pengendalian kultur teknis yang di lakukan kebalikan dari pengandalian pada penyakit akar gada. Pengendalian dilakukan dengan pemberian pupuk belerang pada tanah basa sehingga pH turun. Namun pemupukan belerang juga jangan berlebihan. Jika ini terjadi maka pH tanah akan rendah sehingga tanah masam yang menyebabkan pertumbuhan kubis terhambat.
Pengendalian yang tepat untuk penyakit bercak daun alternaria adalah dengan melakukan rotasi tanaman. Hal ini cukup efektif jika dilakukan karena patogennya hanya dapat bertahan paling lama 23 minggu. Rotasi tanaman ini cukup tepat pula untuk pengendalian kaki hitam. Namun untuk penyakit akar gada kurang tepat karena P. brassicae dapat bertahan selama paling lama 10 tahun dalam tanah. Sanitasi area penanaman dan irigasi yang baik sangat penting untuk pengendalian tiga penyakit oleh cendawan di atas. Hal ini disebabkan karena patogen dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman dan dapat berkembang dengan cepat pada daerah air yang tergenang. Pengendalian dengan bahan kimia untuk setiap penyakit dapat menggunakan fungisida promefon 250 EC.
Secara umum, perbedaan antara ketiga penyakit pada kubis di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Penyakit pada kubis oleh patogen bakteri yang dibahas ada dua yaitu busuk hitam dan busuk basak. Kerugian terbesar antara kedua penyakit ini adalah penyakit busuk basah oleh E. carotovora. Kerugian yang besar ini terjadi pada pengangkutan pascapanen. Bakteri ini akan dengan cepat menyebar melalui luka dari krop kubis yang sakit ke krop kubis yang sehat. Gejala khas yang membedakan antara busuk hitam dengan busuk basah adalah pada busuk basah terjadi pelunakan hingga berledir kemudian berbau akibat asosiasi dengan mikroorganisme lain. Gejala ini tidak ditemukan pada busuk hitam. Gejala khas di daun pada penyakit busuk hitam yang dapat membedakannya dengan penyakit lain adalah bercak kuning berbentuk V. Bercak ini kemudian dapat menyebar ke seluruh daun dan tanaman. Bakteri dapat pula menyebabkan pembuluh menghitam, pengangkutan nutrisi terhambat, dan krop hitam.
Pengendalian yang cocok untuk mencegah terjadinya busuk hitam adalah dengan rotasi tanaman. Hal ini disebabkan bakteri dapat bertahan selama 3 tahun di area infeksi. Sedangkan untuk busuk basah lebih pada sanitasi sisa-sisa tanaman di sekitar daerah penanaman, menjaga kelembaban dengan mengatur jarak tanam, dan yang terpenting mengindari luka pada pascapanen. Sanitasi dan penggunaan benih yang sehat juga efektif untuk pengendalian penyakit busuk hitam dan busuk basah. Pengendalian dengan kimia untuk kedua penyakit dapat menggunakan bakterisida Kocide 77WP. Namun pengendalian dengan bakterisida sebisa mungkin dihindari dan lebih mengutamakan pengendalian kultur teknis (Agrios, 2005).
Secara umum, perbedaan antara kedua penyakit pada kubis di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
KESIMPULAN
Patogen utama penyebab penyakit pada tanaman kubis berasal dari cendawan setelah itu bakteri. Penyakit ini akan menyebar dan berkembang dengan baik pada saat musim hujan dimana kelembaban cukup tinggi dan pada saat suhu rendah. Sanitasi dan rotasi tanaman sangat penting sebagai pengendalian secara kultur teknis untuk menghindari tersebarnya penyakit ini kecuali pada penyakit akar gada. Hal ini disebabkan karena spora pada akar gada dapat bertahan lama pada tanah.
Secara umum, patogen dapat menyerang dapat menyerang pada berbagai tingkat tanaman. Penyakit yang menyebabkan kerugian terbesar pada saat pascapanen adalah busuk lunak oleh bakteri Erwinia carotovora. Untuk mencegah tersebarnya penyakit ini perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi luka pada krop kubis. Penyakit yang menyebabkan kerugian yang tidak terlalu besar di Indonesia adalah penyakit kanker batang. Hal ini disebabkan karena patogen penyebab penyakit ini akan berkembang baik pada tanah basa sedangkan tanah di Indonesia sebagian besar tanah asam.
Daftar Pustaka
Agrios, George W. 1997. Plant Pathology Fourth Edition.New York: Academic Press.
Arismansyah, Erlan Ardian. 2010. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor) pada kubis-kubisan dan upaya pengendaliannya. [terhubung berkala].http://erlanardianarismansyah.wordpress.com/2010/01/07/penyakit-akar-gada plasmodiophora-brassicae-wor-pada-kubis-kubisan-dan-upaya pengendalian-nya. [5 April 2010].
Campbell, NA, dkk. 2000. Biologi Edisi Lima. Rahayu Lestari, dkk, penerjemah; Amalia Safitri, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology 5th Edition.
Cicu, 2002. Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae) pada Tanaman Kubis dengan Tanaman Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mangun, Wardoyo. 2009. Busuk Hitam Kubis. [terhubung berkala]. http://journal.ui.ac.id /…/ Transformasi%20fragmen_Mangunwardoyo.pdf. [17 Mei 2010].
Permadi, A. H. dan S. sastrosiswojo.1993. Kubis. Kejasama antara Badan Penellitian dan Perkembangan Pertanian. Lembang: Balai Penelitian Holtikultura.
Pracaya, Ir. 2001. Kol alias Kubis Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rebecca A. Boley. 2003. Educational Specialist Plant Pathology. Manoa: University of Hawaii.
Rumahlewang, Wilhemnia. 2008. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Kubis. [terhubung berkala]. http://kliniktanaman.blogspot. com/2008/12/penyakit-penyakit-penting-tanaman kubis.html.[2 April 2010]
Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Yogyakarta: Kanisius.
Soeroto, dkk. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.
Stephen, A Ferreira. 2006. Extension Plant Pathologist.
Tindal, H.D. (1987). Zwartrot van kool. Landblouw 21:259.
http://planthospital.blogspot.com/2012/01/bahan-organik-tanah.html
Belum ada tanggapan untuk "macam macam penyakit pada tanaman kubis"
Post a Comment